Di ujung gang sempit itu, di sebuah rumah tua bercat putih yang sudah mengelupas, Mak Indah tinggal sendirian. Rambutnya, tebal dan hitam pekat, selalu disanggul tinggi seperti mahkota. Di antara helaian rambutnya yang kasar, tersembunyi koloni kutu yang begitu banyak, seperti sebuah kerajaan kecil yang hidup dan bergerak tanpa henti. Bagi sebagian tetangga, keberadaan kutu-kutu itu adalah musibah; bagi yang lain, itu adalah misteri yang penuh daya tarik, seperti teka-teki yang tak pernah selesai.
“Kutu itu sudah hampir punah,” ujar Pak Darman suatu malam di warung kopi. “Kita ini seharusnya menjaga mereka. Lihat saja burung cenderawasih, gara-gara manusia serakah, sekarang cuma bisa kita lihat di museum.”
“Tapi beda, Pak,” sela Bu Sri sambil mengipasi anaknya yang sedang rewel. “Ini bukan burung cenderawasih. Ini kutu! Kalau sampai pindah ke kepala kita, habis sudah. Anak saya bisa gatal-gatal seminggu!”
Perdebatan tentang kutu-kutu Mak Indah telah menjadi diskusi mingguan di kampung itu. Mereka yang berdiri di sisi pelestarian—meski jumlahnya sedikit—menganggap Mak Indah sebagai penjaga ekosistem terakhir. Namun, mayoritas tetangga hanya melihat ancaman: gatal, menjijikkan, dan menular.
“Ada yang bilang, kutu-kutunya Mak Indah bisa bicara,” bisik Bu Lastri suatu malam. Matanya melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada yang mendengar. “Mereka bilang, kalau kamu dengarkan dengan seksama, mereka akan memberitahumu rahasia-rahasia yang belum pernah kamu dengar.”
Namun, siapa yang berani mendekat?
Mak Indah sendiri tampak tak terganggu dengan bisik-bisik para tetangga. Ia melenggang santai setiap pagi, menyapu halaman rumahnya yang dipenuhi daun kering. Kadang, dia berhenti sejenak, menggaruk kepala, lalu tersenyum kecil, seolah ada lelucon yang hanya dimengerti oleh dirinya dan kutu-kutunya.
“Apa tidak gatal, Mak?” tanya Fitri, seorang anak kecil yang kadang bermain di halaman Mak Indah.
Mak Indah hanya tertawa. “Kamu tahu, Nak? Gatal itu cuma di kepala. Kalau hatimu tenang, semuanya jadi biasa saja.”
Jawaban itu tidak membantu, tetapi entah kenapa Fitri merasa ada sesuatu yang hangat dari tawa Mak Indah. Ia bahkan pernah duduk dekat sekali dengan perempuan itu, menatap rambutnya yang seperti sarang burung, dan bersumpah melihat sesuatu yang kecil melompat dari satu helai ke helai lainnya.
“Apa mereka bicara padamu, Mak?”
“Siapa, Nak?”
“Kutumu.”
Mak Indah terdiam sejenak. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Fitri, menatap dengan mata yang tajam namun lembut. “Mereka bukan kutu biasa, Nak. Mereka adalah penjaga rahasia. Tanpa mereka, kepalaku kosong.”
Keresahan tetangga semakin memuncak ketika Bu Ratmi menemukan kutu di kepala anaknya, Bayu. “Ini pasti dari Mak Indah!” serunya. “Dia harus bertanggung jawab!”
Berita itu menyebar seperti api di musim kemarau. Dalam waktu sehari, semua orang di gang itu tahu bahwa kutu-kutu Mak Indah telah menyeberang ke kepala anak Bu Ratmi. Rapat darurat diadakan di rumah Pak RT.
“Kita harus menegur dia!” ujar Pak Darman, yang biasanya membela Mak Indah. “Ini sudah keterlaluan.”
“Tegur saja tidak cukup,” tambah Bu Sri. “Kita harus paksa dia membersihkan rambutnya!”
Namun, ada yang ragu. Bagaimana jika kutu-kutu itu benar-benar memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar gatal? Bagaimana jika mereka, seperti yang diceritakan Bu Lastri, adalah makhluk dengan kemampuan luar biasa?
“Ada baiknya kita berhati-hati,” kata Pak RT, akhirnya. “Kita kirim perwakilan untuk bicara dengan Mak Indah. Tapi jangan memaksanya. Kita lihat dulu apa yang dia katakan.”
Ketika tiga orang tetangga datang ke rumah Mak Indah—Pak Darman, Bu Sri, dan Pak RT—perempuan itu sudah menunggu di depan pintu. Ia tersenyum tipis, seolah tahu apa yang akan mereka katakan sebelum mereka membuka mulut.
“Mak Indah,” mulai Pak RT dengan hati-hati, “kami datang untuk membicarakan… soal kutu-kutu di rambutmu.”
Mak Indah tidak menjawab. Ia hanya memiringkan kepala sedikit, mengundang mereka untuk melanjutkan.
“Begini,” sambung Pak Darman, “beberapa dari kami merasa terganggu. Kami takut kutu-kutu itu menyebar. Apalagi, Bu Ratmi bilang anaknya—”
“Bayu,” potong Mak Indah dengan suara rendah namun tegas. “Namanya Bayu. Dan kutu-kutuku tidak menyebar. Mereka memilih.”
Ketiga tamu itu saling pandang. “Memilih?” tanya Bu Sri, suaranya setengah mengejek.
Mak Indah tersenyum. Ia merapikan rambutnya yang kusut, mengungkapkan pemandangan yang membuat ketiga tamunya terdiam. Ada ribuan kutu di sana, bergerak seperti ombak kecil, namun tidak membuat jijik. Sebaliknya, pemandangan itu terasa seperti seni yang aneh, nyaris magis.
“Mereka tinggal di sini bukan karena aku membiarkan,” katanya. “Tapi karena mereka menemukan rumah. Kalau mereka pergi ke kepala Bayu, mungkin itu karena Bayu punya sesuatu yang harus dijaga.”
“Apa maksudmu?” desak Pak RT.
“Kutu-kutu ini bukan sekadar kutu,” jawab Mak Indah. “Mereka adalah penjaga rahasia. Mereka membawa cerita, ingatan, dan mimpi. Tanpa mereka, aku hanya akan menjadi tubuh tanpa jiwa.”
Seminggu setelah pertemuan itu, kampung mulai tenang kembali. Bayu yang sebelumnya digaruk habis-habisan oleh ibunya, tiba-tiba menjadi anak yang lebih pendiam. Ia sering duduk di teras, menatap langit, seolah memikirkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Namun, yang paling mengejutkan adalah Bu Ratmi. Suatu pagi, ia terlihat menyisir rambutnya di depan cermin, lalu tersenyum kecil ketika menemukan seekor kutu di sela-sela sisirnya.
“Sudah kubilang,” gumam Mak Indah yang berdiri di ambang pintu. “Kutu-kutu ini memilih. Mereka akan pergi ke kepala yang paling membutuhkannya.”
Ketika Bu Ratmi hendak menjawab, tiba-tiba ia terdiam. Dari kepala Mak Indah, terdengar bisikan kecil, seperti nyanyian lembut yang hanya bisa didengar oleh mereka yang terpilih.
Ternyata, kutu-kutu itu memang lebih dari sekadar makhluk kecil yang menjijikkan. Mereka adalah penjaga, pembawa pesan dari dunia yang tak terlihat. Dan kini, mereka mulai memilih kepala-kepala lain di kampung itu.
Satu per satu.
Dan kampung itu, yang dulu penuh gosip, berubah menjadi tempat yang lebih tenang, lebih bijak. Karena rahasia yang dibawa oleh kutu-kutu itu, meski kecil dan nyaris tak terlihat, memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang pernah dibayangkan.
Lahat, 2024
Penulis: Aan Kunchay seorang jurnalis di Kabupaten Lahat